Berbenah Niat untuk Meraih Impian


Foto oleh Ahmed Aqtai dari Pexels

Saya yakin semua orang di dunia ini pasti pernah berharap, berandai-andai, ingin punya ini dan itu, bisa melakukan ini dan itu, dan sebagainya. Sadar atau tanpa disadari, ketika keinginan-keinginan tersebut sudah terpenuhi, maka akan muncul segudang keinginan lainnya. Oleh karena itu, manusia dikenal sebagai makhluk yang tidak mudah puas.

Berbicara perihal impian, ada masanya seseorang memiliki impian yang sangat ingin diraih. Misalnya, ingin berangkat haji dan umrah, bisa traveling keliling dunia, punya  koleksi barang-barang idaman dan berkelas, menjadi mahasiswa perguruan tinggi dambaan,  dan sebagainya.

Impian-impian tersebut kadang muncul seiring dengan bertambahnya interaksi antar sesama manusia. Misalnya saja, ketika seseorang melihat temannya menjadi salah satu mahasiswa PTN (Perguruan Tinggi Negeri) favorit, dipikirannya lantas terbesit keinginan untuk menyamai langkah temannya tersebut. Ia ingin menjadi mahasiswa perguruan tinggi itu juga dengan motivasi ia ingin melampaui temannya tersebut.

Motivasi yang datang, kadang kala hanya dilandasi pada rasa haus akan ‘pengakuan’ oleh orang lain. Mereka hanya ingin menunjukkan pada orang lain bahwa sebenarnya mereka bisa dan mereka pun mampu sukses seperti orang lain.

Inilah aku yang seorang mahasiswa PTN nomor 1 di Indonesia. Aku berhasil menyisihkan sekian ribu pendaftar yang ingin masuk di PTN-ku ini. Enggak cuma itu, nilai UTBK-ku juga paling tinggi, lho. Keren, kan?”, ujar seorang mahasiswa baru.

Inilah aku yang seorang mahasiswa berprestasi. Sudah mengikuti perlombaan ini dan itu. Menjuarai ini dan itu. Aku dikenal dimana-mana. Dosen, kakak tingkat, adik tingkat, dan semua civitas akademika segan sama aku!”, ujar seorang mahasiswa yang katanya berprestasi.

Inilah aku yang seorang ketua organisasi mahasiswa. Anak buahku banyak. Tiap hari aku rapat ini dan itu. Mengajukan proposal ini dan itu. Kegiatanku ini dan itu. Pokoknya sibuk, deh!”, ujar seorang mahasiswa  yang selalu disibukkan dengan kegiatan organisasinya.

Inilah aku, inilah aku, aku, aku, aku, dan masih banyak ‘Inilah aku’ lainnya.

Tak hanya sampai di situ. Kadang juga motivasi itu hadir ketika seseorang merasa harus ‘membalas dendam’ secara baik-baik akibat perlakuan tidak mengenakkan dari seseorang di masa lampau.

Misalnya saja, seseorang yang pernah ditolak cintanya semasa SMA, akan berjuang mati-matian untuk bisa masuk ke perguruan tinggi favoritnya demi memperoleh pengakuan dari orang yang telah menolak cintanya. Segala usaha dilakukan. Mulai dari mengikuti bimbingan belajar ini dan itu dari pagi hingga larut malam, mengerjakan banyak soal-soal yang mungkin akan diujikan, dan segudang usaha lainnya. Dalam hatinya selalu ada keinginan untuk menunjukkan kepada orang yang telah menolak cintanya tersebut, bahwa kini dia sudah move-on dan bisa hidup lebih baik tanpa orang tersebut. Dengan harapan, orang itu menyesal telah menolak cintanya. Klise sekali, bukan.

Atau, ketika seorang anak ingin membuktikan kepada kedua orang tuanya bahwa dirinya itu bukanlah anak yang pemalas setelah wisuda dan mendapat gelar sarjana, seperti yang keduanya kira selama ini. Maka, anak tersebut sesegera mungkin mencari pekerjaan yang layak dan juga bergaji tinggi sehingga mampu menopang beban ekonomi keluarganya. Segala usaha dilakukan: mengikuti tes di perusahaan ini dan itu, melakukan interview di sini dan di situ, dan masih banyak usaha lainnya. Ketika pekerjaan tersebut diperoleh, anak itu berharap orang tuanya mampu mengakuinya sebagai anak yang rajin dan juga mampu diandalkan oleh keluarga.

Kasus seperti ini nyatanya sering terjadi di masyarakat. Dimana seseorang meniatkan sesuatu hal, pekerjaan, dan kerja keras yang dilakukannya hanya untuk memperoleh pengakuan orang lain semata.

Sangat disayangkan apabila semua kesuksesan yang telah diraih hanya diniatkan untuk memperoleh pengakuan. Karena nyatanya, orang lain, terutama orang-orang yang telah menyakiti kita di masa lampau, kebanyakan memilih untuk tidak melulu memikirkan kita, mengikuti gerak-gerik hidup kita, dan juga sangat tidak ambil pusing dengan apa yang kita lakukan.

Mereka, orang-orang yang telah menolak cinta kita di masa lampau, mungkin hari ini sedang asyik menggandeng pasangan barunya atau pun telah hidup bahagia setelah menikahi pujaan hati pilihan mereka. Sedangkan kita? Kita memilih untuk sibuk menghabiskan waktu untuk bekerja keras dan usaha sana sini, hanya untuk memperoleh pengakuan orang tersebut. Sangat mengenaskan, bukan.

Kalau kita tahu fakta ini, mungkin kita tidak akan pernah meniatkan kerja keras kita, usaha mati-matian kita, waktu, dan tenaga kita hanya untuk orang-orang seperti itu.


Lantas, bagaimana seharusnya kita meniatkan usaha kita?


Tempat terbaik untuk meniatkan segala usaha yang kita lakukan adalah bukan menyandarkannya pada manusia, melainkan pada Allah S.W.T. Allah S.W.T tidak pernah lupa dan mengecewakan hamba-Nya. Ketika seseorang mengangkat tangannya untuk berdoa dan meminta sesuatu, maka Allah pasti akan mendengarkan. Dan di waktu yang tepat, akan dikabulkan-Nya doa-doa kita tersebut. Sekecil apa pun usaha yang kita lakukan, pasti akan Allah hargai.

Hal tersebut sangat kontras dengan makhluk yang bernama manusia. Ada kalanya manusia itu bersikap baik di depan kita dan menghargai setiap kesuksesan yang telah kita raih. Namun nyatanya, di lubuk hatinya yang terdalam tersemat perasaan dengki akan kesuksesan yang telah kita raih. Mereka tidak seratus persen rela dengan tiap jengkal kesuksesan yang kita raih. Bahkan, mereka berharap bisa merebut dan menyaingi kesuksesan kita dengan cara-cara yang mungkin secara langsung maupun tidak langsung bisa merugikan kita.
 

Karena sejatinya, manusia itu cacat sedangkan Allah itu Maha Sempurna.


Komentar

Posting Komentar