Resensi Buku "Going Offline" Karya Desi Anwar

IDENTITAS BUKU


Judul : Going Offline: Menemukan Jati Diri di Dunia Penuh Distraksi
Penulis : Desi Anwar
Alih bahasa : Rani Rachmani Moediarta
Editor : Indrijati Pudjilestari
Foto sampul : NordWood for Unsplash
Desain sampul dan tata letak : Aditya Putra
Ilustrasi buku : Sidney Islam, Aditya Putra
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-06-3707-5
Tahun terbit : 2019
251 hal
Harga : Rp80.000,00 (Harga P. Jawa)

BLURB


Melalui media sosial dan realitas virtual, kehidupan online membuat kita terus terhubung dan selalu aktif. Ponsel cerdas kita adalah benda pertama yang kita raih saat bangun tidur dan yang terakhir kita letakkan sebelum tidur. Layar kecil di tangan kita itu memberikan kenyamanan, persahabatan, dan rangsangan yang membuat kita terus-menerus tertarik dan bersemangat serta mengalihkan perhatian kita dari dunia nyata. Bersamanya, kita jarang merasa bosan atau punya waktu untuk hanya duduk diam dan melamun.

Meskipun memberikan kita banyak manfaat, tidak seharusnya kehidupan online menghilangkan kita dari kesenangan hidup di sini saat ini dan berinteraksi dengan dunia fisik. Seharusnya, kehidupan online tidak membuat kita lupa bagaimana berkomunikasi dengan orang-orang nyata dan menghargai keindahan lingkungan kita, serta tidak membuat kita tersesat dalam gangguan terus-menerus.

Buku ini mengundang kita untuk meletakkan gadget sesekali dan menemukan kembali kesenangan sederhana menghabiskan waktu secara offline. Waktu di mana kita dapat terhubung dengan hal-hal indah di sekitar kita-bukan dengan teks, video, emoji, tetapi dengan mata, telinga, sentuhan, perasaan, imajinasi, dan semua indra kita.

Going Offline adalah undangan untuk melakukan perjalanan yang membawa kita ke jantung kehidupan nyata itu sendiri-untuk menemukan dunia di luar dan bahkan untuk menemukan dunia di dalam, ke jantung tempat jati diri kita berada.

RESENSI


Buku ini merupakan karya Desi Anwar kedua yang saya baca setelah buku Hidup Sederhana. Gak jauh berbeda dari buku sebelumnya, buku ini masih menelisik tentang kehidupan. Lebih tepatnya makna kehidupan. 

Pada buku Going Offline, pembaca akan diajak untuk merenungi eksistensi manusia sebagai makhluk sosial melalui pemikiran-pemikiran dan pengalaman pribadi penulis. Seiring dengan maraknya keluaran gawai termutakhir saat ini, manusia acap kali abai dengan sekitarnya. Hal ini tercermin pada fenomena sehari-hari di masyarakat kita. 

Misalnya saja, ketika berkumpul dengan saudara jauh, kebanyakan dari kita lebih memilih terfokus pada gawai di genggaman daripada berbincang-bincang hangat dan fokus mendengarkan lawan bicara. Ketika berkumpul dengan teman-teman, alih-alih menatap wajah satu sama lain dan asyik bercengkerama, masing-masing dari kita memilih untuk tertunduk pada gawai dan masuk ke dalam dunianya masing-masing. Mereka terhubung secara fisik, namun tidak terhubung secara emosional. Acap kali gawai mendekatkan yang jauh, namun juga menjauhkan yang dekat. Ironis memang, tapi inilah kenyataan di masyarakat kita saat ini.

Kita berdalih menggunakan gawai untuk memperoleh informasi agar tidak ketinggalan zaman atau pun bermain media sosial supaya tidak dibilang ‘kuper’ alias kurang pergaulan. Kita memilih untuk terus terhubung dengan dunia yang lebih luas dan memperoleh informasi terbaru secara masif. Dengan begitu, kita merasa menjadi bagian dari masyarakat dunia. 

Dunia virtual memang terasa begitu menyenangkan dengan beragam sajian hiburan tanpa batas di dalamnya. Tanpa kita sadari, kita sudah mengalami kecanduan dengan gawai dan dunia virtual di dalamnya. Gawai menjadi benda pertama yang kita cari ketika bangun tidur sekaligus benda terakhir yang kita gunakan sebelum kembali tidur. 

Terus terhubung dengan dunia virtual dapat membuat seorang mencapai titik jenuh. Duduk atau pun berbaring sembari menatap layar secara kontinu dapat membuat mata dan tubuh lelah. Acap kali, kita merasa badan kita terasa pegal-pegal sehabis menjelajah dunia virtual. Tidak hanya fisik, emosi kita juga dapat mencapai titik jenuhnya. 

Bagaimana tidak, secara emosional diri kita yang telah terbiasa mendapat informasi secara masif secara instan, akan menuntut untuk terus mencari informasi-informasi terbaru lainnya. Kita memaksa otak kita terus melahap semua informasi-informasi yang beredar. Bisa jadi yang sering kita lihat adalah informasi yang tidak penting sama sekali bagi kita. 

Selain itu, melihat postingan teman-teman kita dengan segala kesuksesan yang mereka raih kadang membuat kita merasa insecure. Padahal, semua postingan itu hanyalah hasil dari sekian kali penyuntingan yang dilakukan oleh mereka sehingga tampak sempurna di mata kita. Alhasil, kita menjadi menyesali keadaan kita yang tidak se-sukses mereka dan menjadi kurang bersyukur.

Kadang kala, kita perlu mengambil rehat sejenak dari bisingnya dunia virtual. Mengambil nafas dalam-dalam, menenangkan pikiran, dan memutuskan untuk sejenak offline. Going offline bukan berarti tertinggal ataupun menjadi kurang pergaulan. Justru, dengan going offline kita kembali menghidupkan dan memaksimalkan fungsi indra pada tubuh kita. Betapa banyak kesempatan yang kita lewatkan untuk dapat bercengkerama dengan dua, tiga, atau pun beberapa orang sekaligus dengan fokus mendengarkan satu sama lain tanpa terdistraksi dengan kehadiran gawai. Semua kesempatan itu kadang lenyap karena kita terlalu sibuk dengan gawai di tangan kita.

Going offline membawa kita untuk kembali menjalani hidup dengan segala potensi tubuh yang telah Tuhan berikan. Kita dapat membaca buku atau pun menikmati hamparan hijau sawah tanpa terganggu dengan beragam notifikasi atau pun menyeruput teh hangat di pagi hari sambil memikirkan serangkaian kegiatan yang akan dilakukan pada hari itu. Menikmati jalan-jalan di taman kota dan mengamati keindahan tanaman-tanaman hias di dalamnya atau pun pergi berkunjung ke pameran seni dengan beberapa sahabat. Semua hal itu hanya dapat kita rasakan dan lakukan di dunia offline, dunia nyata.

Tak ada salahnya untuk mengambil jeda sejenak dari kerumitan dunia virtual. Karena manusia butuh jeda sesaat sebelum memulai kembali kegiatan-kegiatan produktif ke depan. Layaknya mesin mobil balap tercanggih pun akan membutuhkan saat-saat harus diganti olinya ataupun dilakukan perawatan rutin sebelum akhirnya kembali memulai pertandingan.

Buku Going Offline memiliki beberapa kelebihan. Pertama, buku dengan sampul berwarna kuning cerah ini menggunakan diksi yang mudah dipahami oleh pembaca sekalipun untuk orang awam. Kedua, buku ini terdiri dari beberapa bab dengan masing-masing bab yang terdiri dari lima hingga sembilan halaman dilengkapi dengan ilustrasi gambar beserta kutipan kata-kata mutiara di setiap awal bab. 

Selain itu, buku ini juga memiliki beberapa kekurangan. Ukuran huruf buku ini menurut saya masih cukup kecil sehingga membuat tata letak tulisan terkesan rapat. Hal ini membuat mata saya jadi cepat lelah ketika membaca buku ini.

Secara umum, buku Going Offline saya rekomendasikan untuk kalian semua baca. Buku ini menjadi bahan bacaan ringan yang cocok dibaca ketika pagi hari sebelum memulai aktivitas atau pun saat-saat santai lainnya.

Komentar

  1. Halo ! Terimakasih sudah mereview buku ini !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahh dengan senang hati. Kebetulan aku suka banget sama buku ini. Ga bosen aku bacanya. Selamat membaca!

      Hapus
  2. nasi kotak surabaya
    Merupakan sub-brand dari Aqiqah Nurul Hayat yang melayani dan menerima pesanan untuk banyak menu nasi kotak dan catering untuk acara atau walimah non-Aqiqah seperti Khitanan, Ulang Tahun, Syukuran dan Acara Perkantoran

    BalasHapus

Posting Komentar