Suka Duka Kuliah di Jakarta: Berdasarkan Penuturan Seorang Anak Daerah (Bagian 3)

 
Photo by Tom Fisk from Pexels


Sebelumnya:


Stereotip sebagian kalangan menganggap bahwa orang Jakarta itu cenderung masa bodoh terhadap sekitarnya. Namun, berdasarkan pengalaman saya yang sudah tinggal langsung di sana, sebenarnya enggak semua orang Jakarta begitu. Saya tinggal di daerah pemukiman yang cukup padat dan mayoritas tetangga saya emang sudah lama menetap/tinggal di daerah tersebut. Saya melihat mereka seperti layaknya masyarakat pada umumnya. Mereka pun berkumpul (nongkrong) dan melakukan berbagai interaksi sosial lainnya. Tidak tersirat kesan "masa bodoh" yang sering menjadi stereotip orang di luar sana. Ketika saya sedang berada di jalan, saya pun menyapa mereka dan mereka menyapa saya balik. Bahkan, saya biasa beramah tamah dengan para pedagang di pasar sampai-sampai saya akrab sekali dengan seorang pedagang yang sudah saya anggap seperti bibi saya sendiri. Pada dasarnya, dengan siapa kita bergaul, kita harus bisa mengontrol sikap. Jangan sampai kita membuat orang yang ada di sekitar merasa tidak nyaman dengan perilaku kita.
 
Di sisi lain, pemandangan masa bodoh itu justru terlihat ketika saya sedang berada di tempat umum. Seyogyanya tempat umum, di mana kita berhadapan dengan orang asing yang tidak kita kenal. Hal ini rawan memicu adanya perselisihan. Saya pernah tidak sengaja menyenggol tubuh seorang ibu-ibu dengan tas saya ketika sedang di dalam Transjakarta. Bukannya menegur saya dengan cara baik-baik, ibu tersebut justru mendorong-dorong tas saya dan memandang sinis ke arah saya. Saya hanya diam melihat perlakuannya yang seperti itu dan berusaha untuk tidak terbawa emosi. Dari kejadian tersebut, saya merasa bahwa pandangan tentang orang Jakarta yang "masa bodoh" itu terbentuk karena masyarakat hanya memandang Jakarta dari luarnya saja dan tidak nyemplung langsung ke dalam.

Selama masa-masa awal tinggal di Jakarta dulu, saya sempat merasa was-was. Pasalnya, beredar kabar bahwa di daerah saya itu rawan copet dan maling. Tidak tanggung-tanggung, maling tersebut juga kerap beraksi di rumah-rumah indekos mahasiswa seperti saya. Mereka biasa menggasak handphone, sepatu, dan benda-benda semacam itu. Semenjak itu, saya berusaha untuk lebih berhati-hati dan memastikan untuk mengunci kamar ketika sedang tidak berada di dalam. 
 
Pernah suatu hari kemalangan berpihak pada salah seorang teman saya. Saat itu dia sedang berjalan di daerah depan kampus kami seorang diri di malam hari. Sepanjang perjalanan, teman saya ini asyik memainkan handphone-nya. Tiba-tiba dari arah belakang ada seorang pemuda yang mencuri handphone tersebut. Sontak teman saya ketakutan dan berlari menjauh dari lokasi kejadian. Kejadian tersebut membuat teman saya sedih bukan main dan sampai sekarang pun belum diketahui siapa yang mencuri handphone-nya. Kejadian seperti ini tidak hanya sekali, tapi ada juga beberapa teman saya lainnya yang mengalami hal serupa.

Selama di Jakarta, pertama kalinya saya menyaksikan secara langsung aksi tawuran. Kejadian tawuran ini sangat meresahkan warga karena sudah mengganggu ketentraman. Biasanya para pelaku yang mayoritas pemuda tersebut melakukan tawuran di malam hari. Saya tidak tahu pasti latar belakang apa yang membuat para pemuda tersebut melakukan tawuran. Yang jelas, tawuran tersebut dilakukan secara brutal. Mereka kerap menggunakan senjata sepeti batu dan kembang api untuk melukai pihak lawan. Tidak hanya di jalan-jalan besar, tawuran juga kerap terjadi di gang-gang sempit sekitar kawasan rumah-rumah indekos. Para aparat pun turun tangan dan membubarkan tawuran semacam ini dengan gas air mata. Untuk mencegah hal serupa di kawasan tempat saya tinggal, ada semacam satpam yang menjaga kompleks baik siang maupaun malam. Tidak hanya itu, beberapa jalan juga diportal ketika malam hari untuk menghindari tawuran.

Kawasan tempat saya tinggal dekat dengan sungai Ciliwung. Tak heran, ketika musim hujan tiba air sungai meluap dan banjir kerap terjadi. Banjir tersebut datang secara spontan dan tidak mengenal waktu. Sedihnya, banjir  kadang terjadi ketika malam hari. Para warga sekitar bantaran sungai kadang tidak melakukan persiapan dengan memadai. Alhasil, ketika rumah mereka terendam banjir, barang-barang mereka pun ikut terendam. Rumah indekos saya sendiri terletak di bagian atas, sehingga banjir tidak dapat mencapai rumah tersebut. Ada beberapa teman kampus saya yang ikut terdampak banjir. Pasalnya, letak rumah indekos mereka cukup dekat dengan sungai Ciliwung. Ketika sudah terlanjur terendam banjir, biasanya mereka akan mengungsi hingga banjir surut. Kami saling membantu satu sama lain. ๐Ÿ˜Š

Yang enggak kalah penting dari Jakarta adalah soal isu lingkungan. Tak bisa dipungkiri bahwa Jakarta itu termasuk wilayah yang padat, baik oleh penduduk maupun kendaraan. Hal ini memicu timbulnya beragam permasalahan terkait lingkungan, seperti polusi, pencemaran air, dan sebagainya. Hal tersebut bukan isapan jempol semata. Pertama kali saya menyadari betapa parahnya polusi Jakarta, adalah ketika melihat langit Jakarta dari atas rooftop kampus. Sejauh mata memandang, saya melihat semacam kabut putih keabu-abuan. Awalnya saya mengira itu awan, tapi ternyata itu adalah polusi udara yang sudah terakumulasi sampai-sampai menutupi puncak gedung-gedung pencakar langit. ๐Ÿ˜Ÿ

Mayoritas penduduk sekitar tempat saya tinggal menggunakan air perusahaan air minum (PAM) sebagai sumber air utama untuk kebutuhan sehari-hari. Mereka biasa membeli air galon sebagai sumber air minum. Jangan harap untuk membuat sumur di Jakarta, karena yang saya dengar kualitas air tanah Jakarta sudah tidak layak untuk dijadikan air minum. Pernah beberapa kali air PAM di rumah indekos saya tidak mengalir. Katanya, sedang ada perbaikan dari pusat. Otomatis saya dan teman-teman indekos lainnya tidak dapat menggunakan kamar mandi. Terpaksa, saya harus mengungsi ke kamar mandi teman saya yang berbeda indekos hanya untuk sekadar buang air maupun mandi.

Buat kalian yang baru pertama kali atau akan tinggal di Jakarta, jangan heran kalau kalian dapat dengan mudah menemukan tikus got. Sudah menjadi pemandangan saya sehari-hari melihat tikus-tikus got itu berseliweran siang dan malam. Entah itu di pasar, di gang, atau pun di jalanan besar. Masalahnya, tikus got di Jakarta itu tidak takut dengan manusia. Mereka seolah sudah akrab dengan keberadaan manusia di sekitarnya. Yang enggak kalah unik, ukuran tikus-tikus tersebut lumayan besar tidak seperti layaknya tikus pada umumnya. Bisa dibilang ukurannya sebesar anak kucing.
 
Jakarta memang kota yang unik, mulai dari penduduknya, makanannya, lingkungannya, dan masih banyak hal lainnya. Terlepas dari keburukan yang ada, saya sangat bersyukur diberi kesempatan oleh Allah untuk berkuliah di Jakarta. Pengalaman-pengalaman yang belum pernah saya temui sebelumnya di kampung halaman, bisa saya temui di Jakarta. Saya juga bisa berkenalan dengan orang-orang asli di sana, yang ternyata jauh dari kesan "masa bodoh" seperti yang kebanyakan masyarakat pikir saat ini. 
 
Semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran tentang Jakarta kepada kalian. Semua ini hanya opini pribadi dari saya dan saya mohon maaf jika ada kata-kata yang kurang berkenan di hati kalian.Terima kasih sudah membaca hingga sejauh ini.

- Tamat -

Komentar

Posting Komentar

POPULAR POST