Suka Duka Kuliah di Jakarta: Berdasarkan Penuturan Seorang Anak Daerah (Bagian 1)

Photo by Tom Fisk from Pexels


 
 Apa yang terlintas di pikiran kalian saat mendengar kata Jakarta? Pasti tidak lepas dari kota metropolitan, maju dalam segala aspek, dan penuh gedung pencakar langit. Ya, itu dulu yang ada dalam benak saya. Namun, saya punya pandangan lain terkait Jakarta setelah hampir empat tahun merantau ke sana. 😌
 
⥁⥁⥁
 
Saya lahir dan besar di sebuah kota kecil di Provinsi Lampung yang bernama Metro. Di kota ini enggak ada bioskop atau pun mal. Tidak seperti kebanyakan kota lainnya, kota saya ini masih ada sawahnya, lho. Jadi, bisa dibilang Metro bukan kota yang kota banget gitu. Penduduknya juga terdiri dari beragam suku. For your information, penduduk di sini kebanyakan merupakan pendatang dari luar Lampung. Saya sendiri asli suku Jawa. Kalau kalian main ke Metro, enggak usah sungkan pakai bahasa Jawa, karena mayoritas penduduknya adalah suku Jawa. Selain suku Jawa, juga ada suku Lampung, Sunda, Minang, Bali, dan sebagainya. Meski begitu, belum pernah saya mendengar ada cekcok antar warga karena alasan perbedaan suku. Salut deh! 👍
 
Semenjak kecil, belum pernah terbesit di pikiran saya untuk merantau ke luar Metro ketika saya dewasa. Namun, takdir yang digariskan Tuhan sungguh tak terduga. Setelah lulus dari bangku SMA, saya diberi kesempatan untuk bisa melanjutkan kuliah di Jakarta, lebih tepatnya di Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. 
 
Memang, ketika duduk di bangku SMP, saya pernah sekali bertandang ke Jakarta, tepatnya pada saat study tour. Pengalaman yang cukup mengasyikkan. Tak disangka, yang dulunya hanya menjadi destinasi study tour, kini menjadi tempat saya merantau selama empat tahun ke depan.
 
Waktu terus berlanjut dan tibalah keberangkatan saya ke Jakarta. Saya ditemani kedua orang tua saya saat itu. Maklum, ini pertama kali saya merantau ke luar kota, bahkan keluar pulau. Kami naik bus Damri dengan tujuan Stasiun Gambir, Jakarta Pusat. Waktu tempuh dari Metro ke Stasiun Gambir, Jakarta Pusat berkisar 8-9 jam .

Bisa dibilang, Jakarta Pusat itu wajah baik Jakarta. Kalian bisa menemukan banyak sekali tempat dan fasilitas umum menarik di sana. Objek vital seperti gedung-gedung pemerintahan juga kebanyakan berada di Jakarta Pusat. Sepanjang jalan, banyak ditemukan gedung-gedung perkantoran pencakar langit. Saya yang anak daerah hanya bisa berdecak kagum karena harus sedikit mendongak untuk melihat pucuk gedung-gedung tinggi tersebut. Bangunan-bangunan yang sering saya lihat di televisi kini tepat berada di hadapan saya. Ingar bingar kendaraan yang lalu lalang seolah menambah kesan kota ini adalah kota yang sibuk.

Rasa takjub itu terbawa di pikiran saya hingga membawa saya untuk membayangkan seperti apa lingkungan tempat tinggal/indekos saya nanti.

Pertama kali yang saya dan kedua orang tua lakukan setibanya di Jatinegara adalah mencari tempat indekos. Setelah melakukan usaha pencarian rumah indekos beberapa jam, akhirnya kami menemukan sebuah rumah indekos yang bisa dibilang cukup sederhana dan letaknya cukup strategis karena berada dekat dengan kampus tempat saya kuliah dan pasar.
 
Rumah indekos yang saya tempati ini khusus untuk mahasiswa laki-laki. Isinya terdiri dari empat kamar yang mana satu kamarnya bisa diisi dua orang sekaligus. Saya yang datang ke Jakarta tanpa memiliki teman satu pun, memutuskan untuk menyewa kamar untuk saya sendiri. Mungkin karena kasihan melihat saya belum punya teman sekamar, akhirnya ibu memutuskan untuk tinggal selama seminggu pertama saya ngekos. Ya, seenggaknya bisa jadi teman ngobrol.
 
 Oh ya, rumah indekos saya ini gabung dengan rumah pemiliknya. Pemiliknya adalah seorang ibu paruh baya asli Betawi yang biasa dipanggil Bu Mamah. Beliau orang yang humoris. Hari pertama saya tinggal, Bu Mamah enggak henti-hentinya cerita tentang pengalaman hidupnya. Pembawaannya yang jenaka khas orang Betawi membuat saya dan ibu saya terpingkal-pingkal.

Di rumah indekos ini, hanya kamar saya yang berisi satu penghuni. Kamar lainnya diisi oleh dua orang. Jujur saja, saya cukup malu dan bingung bagaimana harus memulai interaksi dengan teman-teman di kamar lainnya. Johan si pemalu kini harus bisa hidup sendiri dan berbaur dengan lingkungan yang 100% baru baginya. 
 
- Bersambung -

Komentar