Pilih Lo-Gue atau Aku-Kamu?


Bagi sebagian orang, penggunaan kata ganti dalam percakapan bukan suatu hal yang patut dipermasalahkan. Namun, buat kalian yang biasa menggunakan kata ganti aku-kamu dalam percakapan sehari-hari mungkin bisa saja risih ketika mendengar ada orang yang menggunakan kata ganti lo-gue. 😌

Saya pernah bertemu dengan orang semacam ini. Semua bermula ketika saya pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta untuk berkuliah. Sekadar informasi, kampung halaman saya itu ada di Metro, Lampung. Buat kalian yang orang Lampung pasti sudah terbiasa dengan penggunaan kata ganti lo-gue dalam percakapan sehari-hari terutama bagi yang tinggal di daerah perkotaan. Mungkin ini terjadi karena kebanyakan masyarakat Lampung itu merupakan pendatang. Di tempat tinggal saya sendiri pun mudah ditemui orang-orang dari berbagai suku maupun ras, mulai dari suku Lampung, Jawa, Sunda, Minang maupun Tionghoa. Jadi, saya sudah enggak heran ketika orang-orang berbicara dengan kata lo-gue saat di Jakarta, karena memang sudah terbiasa.

Oke, balik lagi ke cerita ya. Waktu itu saya baru awal-awal tinggal di Jakarta untuk berkuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di sana. Di kampus saya ini mahasiswanya terdiri dari berbagai suku dan ras. Mulai dari ujung Sumatera hingga ujung Papua ada semua. Jadi, kebayang kan gimana rasanya kalian yang tadinya belum pernah ketemu orang dari Kalimantan atau pun Papua tiba-tiba disatukan dalam satu tempat yang bernama kampus. Atmosfer Bhinneka Tunggal Ika-nya kerasa banget. Amazing.

Saya begitu antusias dan perlahan mulai menjalin pertemanan dengan teman-teman di sana. Sampai suatu ketika, saya yang terbiasa menggunakan kata ganti lo-gue dalam percakapan, dianggap sombong oleh salah seorang teman ketika saya sedang berbicara.
 
"Wih, ngomongnya pakek lo-gue, lho. Gaya banget!"
 
Kurang lebih begitulah dia berujar. Meski terkesan hanya bercanda, saya pun heran kenapa dia bilang begitu. Memang betul, teman saya ini bukan orang penutur lo-gue dalam berbicara sehari-hari. Dia lebih sering berbicara dengan bahasa Indonesia yang bercampur dengan aksen daerahnya yang begitu kental. Saya berusaha maklum dengan keadaannya. Mungkin dia memang belum terbiasa mendengar orang ngomong lo-gue di daerahnya sana hingga kebiasaan itu terbawa di Jakarta.

Dari situ, saya belajar ternyata tidak semua orang bisa beradaptasi dengan kondisi lingkungan tempat mereka tinggal. Setidaknya dalam bertutur kata. Bukannya ada peribahasa "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung"? Kita dituntut untuk bisa beradaptasi ketika berada di suatu lingkungan yang baru. Menyesuaikan dengan kebiasaan penduduk sekitar asalkan masih dalam ranah yang baik.

Sebagian masyarakat beranggapan bahwa penggunaan lo-gue itu kurang sopan. Lantas, bagaimana dengan orang asli Betawi yang menggunakan lo-gue dalam keseharian mereka? Apakah mereka semua termasuk orang yang tidak sopan? Tidak juga, bukan. 
 
Jadi, sudah sepantasnya kita bisa saling menghargai. Apalagi, secara kontekstual kita berasa di Indonesia yang memang terdiri dari beragam suku dan ras. Sudah pasti bahasa yang dipakai bermacam-macam. 
 
Keberagaman bahasa bukan alasan untuk ajang membesarkan prasangka, tapi justru untuk menyatukan. 😉

Komentar