Point of View Menjadi Seorang Introver
Hari ini saya iseng mencoba tes kepribadian MBTI, singkatan dari Myers-Briggs Type Indicator, secara cuma-cuma melalui internet. Tesnya cukup sederhana. Saya cukup mengisikan jawaban dari beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan dan kondisi saya. Jawaban dalam bentuk skala Likert dari tingkat sangat tidak setuju hingga sangat setuju.
Sebelum mengikuti tes tersebut, pada bagian atas pertanyaan terdapat imbauan bahwa diharapkan peserta dapat mengisi tes secara jujur sesuai dengan kondisi yang dirasakan saat ini. Harapannya hasil tes tersebut bisa memberikan gambaran akurat kepribadian peserta tes.
Tak butuh waktu lama bagi saya untuk mengerjakan tes MBTI karena apa yang terlintas di benak ketika membaca soal, langsung saya tuangkan dalam bentuk jawaban. Setelah semua pertanyaan terjawab, Jeng Jeng Jeng! Hasilnya pun muncul.
Hasil tes menunjukkan bahwa saya memiliki tipe kepribadian ISFJ-T, singkatan dari Introverted, Sensing, Feeling, Judging, dan Turbulent. Tidak mengherankan bagi saya. Jujur saja, sebelumnya saya sudah beberapa kali mengikuti tes ini dan menunjukkan hasil yang nyaris selalu serupa. Beberapa kali saya mencoba, kadangkala hasilnya menunjukkan bahwa kepribadian saya INFJ-T. Huruf N merupakan singkatan dari Intuition.
Yang menjadi poin menarik bagi saya di sini adalah huruf I yang merupakan singkatan dari Introvert. Secara harfiah, kata introvert diambil dari Bahasa Inggris yang berarti kepribadian tertutup. Lawan kata introvert yaitu extrovert yang berarti kepribadian terbuka. Saya dibuat bertanya-tanya. Apakah memang saya orang yang se-tertutup itu? Membayangkannya saja membuat saya senyum-senyum sendiri.
Bagi sebagian besar orang menjadi introver adalah sebuah kelemahan. Mereka memandang rendah dan menganggap bahwa orang introver membosankan dan kurang pergaulan, sehingga tak jarang orang dengan kepribadian ini dikucilkan masyarakat. Bagi saya pribadi, menjadi seorang introver adalah suatu kenyamanan yang bisa membawa saya untuk fokus pada tujuan hidup saya. Bisa dibilang ini privilege hidup yang tidak semua orang rasakan.
Ketika manusia, terutama anak muda, begitu riuh mencari popularitas di media sosial atau menghabiskan banyak waktu pada hal-hal kurang produktif, misalnya nongkrong tanpa tujuan yang positif. Saya yang seorang introver ini lebih memilih menghabiskan waktu lebih banyak untuk diri sendiri. Misalnya dengan melakukan hobi membaca, merawat diri, atau bahkan tidur siang.
Ketika berinteraksi dalam kehidupan sosial, saya masih bisa berperan selayaknya manusia normal lainnya. Baik peran sebagai seorang anak, saudara, teman, maupun rekan kerja. Alhamdulillah hubungan dengan keluarga saya berjalan harmonis. Saya pun masih menjaga hubungan baik dengan teman-teman saya. Bahkan saya dipercaya oleh atasan untuk menjadi ketua tim di tempat kerja saya. Sebuah hal yang sebelumnya tidak pernah saya bayangkan sama sekali sebagai seorang introver.
Di balik itu, ada fase menarik ketika seorang introver berinteraksi sosial. Saya menyebutnya sebagai fase recharging alias fase pengisian daya. Layaknya handphone yang perlu diisi daya ketika daya baterai mulai melemah, seorang introver juga butuh diisi baterai sosialnya setelah berinteraksi dengan orang lain.
Kerap kali saya mendadak diam dan lebih memilih menyendiri di meja kerja saya, padahal sebelumnya saya begitu riang. Itu tandanya baterai sosial saya hampir habis. Nah, cara yang paling sering saya terapkan untuk mengisi kembali baterai saya adalah dengan beristirahat dan mengambil jeda sejenak untuk diri sendiri. Dijamin setelah ini baterai sosial saya kembali penuh dan siap melanjutkan aktivitas kembali. Lain halnya dengan kepribadian ekstrover yang baterai sosialnya cepat terisi ketika bertemu dengan banyak orang di keramaian.
Seorang introver juga pemikir yang hebat dan pendengar yang baik. Mereka tidak ragu untuk berpikir seribu kali sebelum mengambil keputusan atau bahkan mengucapkan kata-kata. Kasarnya, tidak asal ceplas-ceplos. Mereka takut apabila kata-kata yang keluar dari mulut mereka akan menyakiti perasaan lawan biacaranya. Itulah sebabnya seorang introver juga banyak menjadi teman curhat dan cocok untuk diajak melakukan deep talk. Mereka begitu senang mengamati sekitar ketimbang menghakimi apa yang sedang terjadi.
Tidak perlu berkecil hati untuk menjadi seorang introver. Saya sadar bahwa saya seorang introver adalah saat saya masih begitu dini. Tepatnya ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Guru-guru saya bilang bahwa saya murid yang kalem. Mungkin bagi beliau saya begitu mencolok di antara murid-murid lainnya yang begitu aktif dan sulit diatur. Maklum masih usia Sekolah Dasar.
Ada masa saya merasa begitu rendah diri dan menyalahkan diri sendiri menjadi seorang introver karena cara pandang masyarakat yang begitu memandang rendah tipe kepribadian jenis ini. Tetapi perlahan saya mulai menerima menjadi seorang introver. Sekeras apa pun saya mencoba menjadi orang lain (re: extrover), saya merasa sangat tidak nyaman dan itu bukan saya banget. Saya masih terus belajar untuk menerima diri sendiri dengan tangan terbuka dan berhenti menjadi sosok pengkritik paling keras terhadap diri sendiri.
Komentar
Posting Komentar