Resensi Novel "Merindu Baginda Nabi" Karya Habiburrahman El Shirazy
Sumber: Dokumen pribadi |
IDENTITAS BUKU
Judul : Merindu Baginda Nabi
BLURB
Awan putih yang bergerombol itu seumpama kumpulan jutaan malaikat yang sedang berzikir dalam diam. Gadis berhijab merah marun itu menyeka air matanya sambil memandang ke luar jendela pesawat yang dinaikinya. Ada kerinduan yang menggelegak dan membara dalam dadanya. Kerinduan kepada Baginda Nabi, menyatu dengan kerinduan kepada abah dan umminya, serta teman-temannya, anak-anak yatim di Darus Sakinah sana.
Diam-diam ia merasa iri dengan abahnya. Bagaimana abahnya bisa memiliki rasa rindu sedemikian dalam kepada Baginda Nabi SAW. Ia berharap suatu saat juga memiliki rasa rindu seperti itu. Rasa rindu nan dahsyat yang hanya dikaruniakan oleh Allah kepada hamba-hamba terpilih.
Ya, rindu kepada Baginda Nabi, sebagaimana rindunya Nabi Muhammad SAW kepada umatnya akhir zaman. Yakni, mereka yang tak pernah berjumpa atau melihat secara langsung wajah Rasulullah SAW, namun selalu mengikuti ajaran yang dibawanya, dan terus menerus mengumandangkan shalawat untuknya.
Ya Nabi, Salam ‘Alaika
Ya Rasul, Salam ‘Alaika
Ya Habib, Salam ‘Alaika
Shalawatullah ‘Alaika
RESENSI
Novel Merindu Baginda Nabi mengisahkan tentang lika-liku kehidupan seorang gadis remaja bernama Rifa. Dulu, semasa bayi, ia telah dibuang oleh orang tua kandungnya di tempat sampah. Hingga pada suatu pagi buta, Rifa yang masih bayi ditemukan oleh seorang nenek penjual nasi pecel bernama Mbah Tentrem. Beruntungnya ia ditemukan oleh nenek baik hati seperti Mbah Tentrem, karena semenjak itulah Rifa diasuh oleh Mbah Tentrem dengan setulus hati.
Kehidupan pun terus berlanjut hingga akhirnya Rifa diserahkan kepada orang tua angkatnya yakni Pak Nur dan Bu Salamah, pengurus yayasan yatim piatu sekaligus pesantren Darus Sakinah di daerah Cemoro Kandang, Malang. Rifa hidup dan dibesarkan di dalam lingkungan agamais khas pesantren bersama anak-anak yatim piatu lainnya. Pak Nur dan Bu Salamah sudah menganggap Rifa selayaknya anak kandung mereka. Keduanya selalu berusaha memberikan fasilitas yang terbaik bagi putri angkat mereka. Tak luput, Rifa disekolahkan di salah satu sekolah favorit di Malang, SMA Nasional 33 Malang. Di sekolah itu, Rifa bertemu dengan sahabat-sahabatnya, Retno, Lina, Ika, dan Intan.
Rifa memiliki semangat belajar yang tinggi. Hal ini membuatnya selalu menjadi peringkat pertama di kelasnya semenjak duduk di bangku kelas X. Bahkan, ia berkesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar yang diadakan oleh Youth World Peace di Oak Grove High School, San Jose, Amerika Serikat. Selama mengikuti kegiatan tersebut ia tinggal selama beberapa bulan di kediaman Fiona yang akan menjadi teman sekelasnya selama di Amerika.
Kepopuleran Rifa sebagai anak yang cerdas dan berprestasi tidak luput dari kedengkian teman satu kelasnya. Sebut saja Arum dan Tiwik, teman sekelas Rifa yang diam-diam sangat membenci gadis tersebut. Keduanya seakan tak rela apabila melihat Rifa meraih prestasi dan lebih unggul dari keduanya. Dari sinilah kehidupan tentram Rifa perlahan mulai terusik. Akan ada banyak intrik dan tipu muslihat yang Arum dan Tiwik lakukan demi membuat kehidupan Rifa hancur.
Sama seperti novel-novel karya Kang Abik lainnya, novel ini juga mengusung latar tempat di lingkungan pesantren. Uniknya, Kang Abik juga menyuguhkan kehidupan SMA khas anak remaja pada tokoh utama, yaitu Rifa. Ini menjadi suatu hal yang baru bagi saya untuk bisa membaca novel karya Kang Abik dengan tokoh utama seorang remaja SMA. Saya rasa, Kang Abik sengaja membuat novel islami semacam ini dengan sasaran pembaca utama adalah kalangan remaja. Tidak seperti kebanyakan novel-novel kehidupan remaja (teenlit) lainnya yang menonjolkan tema percintaan khas remaja di barat, di novel ini Kang Abik menghadirkan sosok Rifa yang jauh dari kehidupan bebas khas anak-anak remaja saat ini. Rifa digambarkan sebagai seorang gadis remaja yang salihah, cerdas, dan juga bijak. Begitu banyak nilai-nilai islami yang Rifa contohkan dalam novel ini. Ini menjadi sebuah keunggulan novel ini, karena saya rasa belum banyak teenlit yang menyisipkan nilai-nilai islami di dalamnya.
Mengingat latar belakang tokoh utama sebagai pelajar SMA, maka konflik yang disuguhkan adalah seputar kehidupan remaja. Konflik yang paling menonjol adalah konflik pertemanan antara tokoh utama, Rifa, dan Arum. Pembaca dibawa untuk berkali-kali simpati dengan musibah-musibah yang hadapi Rifa akibat intrik dan tipu daya yang Arum lakukan. Pasalnya Arum berusaha keras untuk menjatuhkan Rifa dengan menghalalkan segala cara. Bahkan dengan cara-cara yang mungkin di luar perkiraan remaja normal. Pada tahap konflik ini lah saya merasa disadarkan bahwa ternyata seorang remaja pun dapat melakukan hal-hal di luar nalar untuk bisa membuat kehidupan orang yang tidak disukainya hancur.
Selain menyoroti kehidupan Rifa, novel ini juga menyoroti kehidupan keluarga Pak Nur, ayah Rifa, di Pesantren Darus Sakinah. Akan ada begitu banyak teladan yang dapat diambil dari kehidupan sehari-hari keluarga Pak Nur, misalnya tentang sikap ikhlas dan rendah hati dalam menjalani kehidupan.
Bagian kesukaan saya di novel ini adalah momen ketika teman Amerika Rifa, Fiona, bersyahadat. Bahkan Fiona bersyahadat dibimbing oleh Rifa sendiri. Berikut adalah percakapan antara Rifa, Fiona, dan Louise, teman keduanya, yang berhasil menyentuh hati saya (hal. 135 – 136).
“Saya merasakan cinta dan ketulusan yang dahsyat di pesantren ini,” kata Louise diamini oleh Fiona.
“Saya memiliki orangtua yang hebat Papi dan Mami memang luar biasa. Mereka sangat mencintai saya dan saya sangat mencintai mereka. Tetapi Pak Nur dan Bu Sal, orangtuamu, menurutku punya nilai lebih. Yaitu mereka tahu jalan mencintai dan menyayangimu hingga sampai akhirat. Papi dan Mamiku sangat mencintaiku, tetapi mereka tidak mengerti akan ada akhirat,” kata Fiona dengan wajah sedih.
“Bantu mereka untuk mengerti jalan akhirat, Fifi,” lirih Louise.
“Kalian bantulah aku.”
“Insya Allah,” sahut Rifa dan Louise hampir bersamaan.
Meski novel ini memiliki banyak keunggulan, akan tetapi saya menemukan beberapa kekurangan kecil yang patut diperhatikan. Misalnya, ada beberapa beberapa kesalahan penulisan pada nama tokoh. Selain itu, ada juga penempatan nama tokoh yang tidak sesuai/terbalik pada saat tokoh-tokoh di dalamnya sedang berdialog. Misalnya, ketika sebuah dialog diutarakan oleh Rifa, justru yang tertulis di novel ini malah diutarakan oleh Arum. Kesalahan semacam ini memang tidak banyak saya temukan dan saya sangat memaklumi karena novel yang saya baca merupakan cetakan pertama. Semoga hal ini bisa menjadi perhatian editor untuk perbaikan novel ini di masa yang akan datang.
Di luar kekurangan yang ada, saya merasa sangat puas ketika membaca novel ini. Saya sadar, bahwa untuk menjadi orang baik yang taat pada agama pun tidak perlu menunggu tua. Anak remaja seperti Rifa dan sahabat-sahabatnya bahkan dapat menjadikan ajaran-ajaran Islam sebagai tuntunan hidup, terutama dalam bersosialisasi dengan lingkungan sekitar mereka. Sudah sepantasnya remaja-remaja muslim untuk kembali pada ajaran-ajaran Islam seutuhnya, bukan malah terlena dengan gaya hidup yang terlalu bebas layaknya remaja-remaja di barat.
Terkahir, novel ini saya rekomendasikan untuk kalian baca. Semoga dapat diambil hikmahnya.
Komentar
Posting Komentar