Ketika Kebahagiaan Datang Menjemput
Saya punya pengalaman menggelitik ketika berkuliah di semester 5 yang lalu. Kala itu, saya sedang mengikuti sebuah kelas yang diampu oleh salah satu dosen saya. Saya lupa materi apa yang sedang dijelaskan oleh dosen tersebut. Yang jelas, dosen tersebut bertanya kepada setiap mahasiswa, termasuk saya. Begini pertanyaannya.
"Apa definisi bahagia menurut kalian?"
Sontak, saya yang kala itu duduk di barisan paling belakang kelas dan terlihat paling bahagia sendiri karena keasyikan mengobrol dengan teman di sebelah ketika dosen tersebut memberikan penjelasan, menjadi yang paling pertama ditunjuk untuk menjawab pertanyaan tersebut. Saya hanya bisa celingak-celinguk kebingungan. Dalam hati, saya berkata "Duh! Pertanyaan macam apa ini? Hah!"
Setelah berpikir singkat saya menjawab,
"Bahagia itu ketika saya dikelilingi oleh orang-orang (teman-teman) yang sayang, peduli, dan juga baik terhadap saya, Pak!"
Dosen tersebut hanya mengiyakan dan tidak banyak berkomentar terkait jawaban yang saya utarakan. Begitu seterusnya, hingga semua mahasiswa di kelas tersebut diberi pertanyaan yang sama. Apa definisi bahagia menurut kalian?
Menariknya, dari 34 mahasiswa, tidak ada satu pun yang jawabannya sama persis. Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya apa sih bahagia itu?
Seiring berjalannya waktu, saya berpikir apakah definisi bahagia saya itu masih sama? Kini dan nanti?
Dulu, saya bisa menjawab demikian karena memang saat itu saya dikelilingi oleh teman-teman di kampus yang alhamdulillah baik. Namun, di saat pandemi seperti sekarang ini, kuliah dilakukan secara daring (dalam jaringan) di rumah masing-masing. Semuanya jadi serba terbatas dan yang pasti, suasana perkuliahan berubah. Salah satunya, jadi tidak bisa bertemu langsung dengan teman-teman di kampus. Hehehe.
Malah, ketika sendiri seperti sekarang ini, karena tidak bisa bertemu dengan teman-teman kuliah, saya masih tetap bisa merasakan kebahagiaan. Lantas saya berpikir, "Sepertinya definisi bahagia saya sudah berubah".
Jujur saja, ketika saat-saat kesendirian itu datang, saya merasa lebih bisa bersahabat dengan diri sendiri dan lebih bisa mengapresiasi hal-hal kecil yang terjadi dalam satu hari yang saya lalui. Ada semacam perasaan nyaman, yang sulit dijelaskan ketika sedang sendirian dan hanya bertemankan pikiran-pikiran di dalam kepala saya.
Malangnya, ketika bahagia itu saya hubungkan dengan kehadiran orang lain, dalam hal ini teman. Harusnya saat ini saya sedang tidak merasa bahagia dong, karena pandemi ini semuanya jadi terbatas. Saya pun jadi sedikit sulit untuk bertemu dengan teman-teman. Nah, dari situ saya merasa bahwa sumber kebahagiaan itu datangnya dari diri saya sendiri. Bukan dari banyaknya teman atau pun materi. Toh, bukannya ketika kita mati semua itu bakal kita tinggalkan?
Meski hanya dengan melakukan kegiatan ringan, seperti bersih-bersih rumah dan mengerjakan pekerjaan lainnya yang produktif, terutama ibadah, itu sudah cukup untuk bisa menciptakan rasa bahagia di hati saya. It's so simple! Dan enggak harus repot untuk bisa jadi bahagia.
Kadang kita lupa untuk sekadar berbicara dengan diri sendiri, bertanya, dan mencari arti kebahagiaan versi kita masing-masing. Salah satu tandanya adalah kita merasa lebih mudah tersulut emosi ketika banyak kejadian di luar sana yang tidak berjalan sebagaimana yang kita inginkan. Pandemi ini misalnya. Tapi sejujurnya, itu semua tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Semua orang punya definisi bahagianya masing-masing. Lantas, apa definisi bahagiamu?
Komentar
Posting Komentar