Derita Orang Bermata Empat

Sumber : pixabay.com

Tulisan ini saya dedikasikan untuk mereka kaum bermata empat. Kenapa disebut bermata empat?  Karena mereka menghabiskan sebagian sisa umurnya dengan menggunakan kacamata. Bukan karena alasan untuk gaya-gayaan dengan menggunakan kacamata fesyen, melainkan karena alasan kesehatan. Kesehatan menuntut mereka untuk selalu menggunakan benda berhiaskan lensa optik itu di kepalanya.

For your information, saya sudah memakai kacamata dari kelas enam SD karena menderita miopia alias rabun jauh. Keadaan telah memaksa saya untuk memakainya saat itu juga bahkan seharusnya jauh sebelum itu. 

Sebenarnya saya telah merasakan gejala rabun jauh semenjak kelas lima SD. Pada saat itu saya merasa begitu tersiksa setiap kali saya harus mengerjakan soal di papan tulis. Alhasil, saya berusaha untuk terus duduk di barisan depan atau pun jika kebagian duduk di belakang saya akan menyalin soal dari teman sebangku saya. Saya terlalu malu untuk mengakui bahwa mata saya rabun. Apa tanggapan mereka jika mengetahui bahwa mata saya telah rabun jauh pada usia semuda itu. Saya berusaha untuk tidak memberitahu siapa pun tentang rabunnya mata saya.

Seiring berjalannya waktu, orang tua saya mulai curiga dengan mata saya. Karena setiap kali saya menonton televisi di rumah, saya akan memicingkan mata saya atau pun menonton televisi terlalu dekat. Alhasil, barulah pada saat saya kelas enam SD mata saya diperiksa untuk pertama kalinya.

Betapa kagetnya saya, ketika mengetahui bahwa minus mata saya telah cukup besar yaitu minus 2,25 untuk mata kanan dan kiri saya. Saya direkomendasikan untuk segera menggunakan kacamata saat itu juga. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk mulai menggunakan kacamata.

Awalnya, saya sangat tidak terbiasa menggunakan kacamata. Saya butuh beberapa waktu untuk dapat beradaptasi dengan penggunaan kacamata pasalnya kepala saya terasa sedikit pusing ketika menggunakannya. Tidak hanya itu, saya juga merasa malu ketika harus menggunakan kacamata ketika di tempat umum terutama di sekolah. Orang-orang akan memandang heran ke arah saya ketika berpapasan. Bagaimana tidak, pada saat itu hanya saya lah satu-satunya siswa laki-laki yang berkacamata. Namun, seiring berjalannya waktu saya mulai terbiasa dengan kacamata di kepala saya ini. 

Benda dengan bingkai berwarna hitam dan lensa cekung itu menjadi satu-satunya benda yang pertama kali saya cari ketika baru saja bangun tidur. Asalkan pagi hari itu saya sudah dapat menggunakan kacamata, saya akan merasa lebih tenang. 

Pernah suatu hari dengan cerobohnya saya mematahkan bingkai kacamata. Kejadiannya terjadi di kamar tidur saya. Saat itu, saya hendak pergi mandi dan otomatis saya harus melepas kacamata. Tanpa sadar saya menaruh kacamata itu di atas kasur. Selepas mandi dan berganti pakaian saya hendak leyeh-leyeh di atas kasur. Krakkk! Tak sengaja saya menimpa kacamata saya itu dan tangkainya patah. Saya panik sekali saat itu. Saya berusaha memperbaikinya untuk sementara dengan menyambungkannya menggunakan selotip. Untuk beberapa hari saya menggunakan kacamata rusak tersebut bahkan saat saya harus pergi ke sekolah. Sungguh memalukan.

Bagi saya dan mungkin mayoritas pengguna kacamata lainnya merasa cukup terganggu apabila kacamata yang digunakan berembun. Terutama apabila berada di luar ruangan ketika cuaca sedang dingin atau hujan. Acap kali saya merasa kewalahan harus mengelap embun di kacamata yang membuyarkan pandangan itu. Keadaan yang sama juga dialami ketika sedang memakai masker. Karbon dioksida dari hidung yang keluar melalui celah masker kadang kala mengembun di lensa kacamata. Oleh karena itu, saya harus ekstra bersabar ketika menggunakan masker.

Selain itu, saya merasa cukup terbebani ketika harus melakukan aktivitas di luar ruangan yang membutuhkan banyak gerak seperti olahraga. Pasalnya dengan menggunakan kacamata saya menjadi harus ekstra hati-hati menjaga kacamata saya supaya tidak terjatuh atau pun rusak. Namun, apalah daya ini. Beberapa kali kacamata saya terjatuh karena terlalu asyik berolahraga.

Mungkin sebagian orang memandang bahwa seseorang yang berkacamata menandakan bahwa orang tersebut merupakan orang yang intelek, culun, atau pun kutu buku. Tidak, sama sekali tidak. Paradigma seperti itu telah mengusik saya semenjak saya merasakan sendiri pengalaman untuk berkacamata. Banyak orang asing atau pun orang yang baru kenal menyangka saya sebagai orang yang cerdas atau mungkin seorang yang kutu buku. Big no! Jangan meyakini paradigma seperti itu. Itu membuat saya, seorang pengguna kacamata, menjadi cukup risih.

Bagi saya, kacamata bukan simbol kecerdasan seseorang melainkan simbol kekurangan. Seseorang yang berkacamata berarti mengalami kecacatan pada matanya. Entah itu rabun senja, rabun dekat, mata tua, astigmatisme, atau pun rabun jauh. 

Untuk kasus saya yang rabun jauh, dapat disebabkan karena terlalu sering melihat benda-benda yang memiliki jarak terlalu dekat. Saya teringat sekali, dulu ketika saya masih SD saya sering sekali menatap layar komputer berjam-jam hanya untuk bermain game. Mungkin inilah salah satu faktor penyebab penurunan fungsi penglihatan saya di usia dini kala itu.

Tahukah kalian? Hingga saat ini penyakit rabun jauh atau miopia belum dapat disembuhkan namun dapat diatasi. Ingat, belum dapat disembuhkan namun hanya dapat diatasi. Terdapat tiga opsi untuk mengatasi rabun jauh. Pertama, tentunya dengan menggunakan kacamata. Kemudian, apabila ingin tetap melihat dengan normal meski tidak menggunakan kacamata, kalian dapat menggunakan kontak lensa. Namun penggunaan lensa kontak membutuhkan perhatian lebih. Pasalnya, penggunaan lensa kontak yang tidak sesuai dengan prosedur dapat membuat mata mengalami iritasi hingga kerusakan mata. Selain itu, apabila ingin terbebas dari miopia dapat dilakukan prosedur operasi dengan mengikis bagian kornea mata. 

Bagi kalian yang ingin mengatasi rabun jauh. Hati-hati dengan penggunaan suplemen mata atau pun metode mengatasi rabun jauh lainnya yang banyak beredar di pasaran, seperti penggunaan kacamata terapis. Pasalnya, penggunaan suplemen mata atau pun kacamata terapis yang banyak beredar di pasaran belum dapat terbukti secara klinis untuk mengatasi rabun jauh.

Untuk saat ini saya masih cukup nyaman menggunakan kacamata. Setidaknya, saya sangat bersyukur karena masih dapat menggunakan kacamata. Saya masih dapat melihat keindahan warna-warni dunia dengan bantuan bingkai kecil kacamata di kepala saya ini. Sungguh ini merupakan suatu nikmat-Nya yang tidak dapat tergantikan bagi saya. Selain itu, ini juga menjadi pelajaran penting bagi saya untuk dapat menjaga kesehatan mata saya supaya dapat bertahan dan tidak semakin parah ke depannya.


Komentar